Sumber Gambar : masterclass.com

Workaholic dan Bagaimana Mengatasinya?

Sebagian besar orang dewasa kemungkinan besar pernah mengalami masa ketika mereka terlalu sibuk dengan pekerjaannya, sehingga lupa dengan hal-hal yang lain.

Masa dewasa awal adalah masa transisi di mana seseorang yang sebelumnya bertugas sebagai pelajar lalu berubah menjadi pekerja. Dan bagi orang dewasa, sebagian besar waktunya mungkin lebih banyak dihabiskan untuk bekerja. Meski begitu, bukan berarti kita harus menjadi orang yang kecanduan atau gila kerja, sehingga melupakan hal-hal lain dalam kehidupan.

Tahukah kamu bahwa gila kerja atau workaholic di fase dewasa awal ini bisa berpengaruh negatif, baik fisik maupun psikis? Hal ini dapat terjadi karena gila kerja dinilai dapat memunculkan tindakan obsesif kompulsif dan perfeksionisme, meningkatkan stres dan rasa lelah, konflik antara pekerjaan dan keluarga, peningkatan gejala kesehatan (fisik dan psikologis), penurunan prestasi pekerjaan, penarikan diri dari interaksi keluarga, serta kesulitan dalam berkomunikasi.

Apakah kamu pernah merasakan kecanduan bekerja? Yuk, kita cari tahu apa itu Workaholic.

Definisi Workaholic

Istilah 'workaholic' diperkenalkan pertama kali oleh Wayne Oates dalam bukunya yang berjudul 'Confessions of a Workaholic: the Facts About Work Addiction' pada tahun 1971. Oates mendefinisikan workaholic sebagai “kecanduan bekerja, dorongan atau kebutuhan tak terkendali untuk bekerja tanpa henti”.

Definisi serupa disampaikan oleh Andreassen, Hetland, & Pallesen (2014), bahwa workaholic adalah "terlalu peduli tentang pekerjaan, didorong oleh motivasi kerja yang tidak terkendali, serta menginvestasikan begitu banyak waktu dan upaya untuk bekerja sehingga nantinya akan mengganggu kehidupannya yang lain".

Sebagian besar para peneliti menggambarkan workaholic sebagai "sebuah pola kronis dari kegemaran berlebihan dalam bekerja, jam kerja yang panjang, bekerja lebih dari yang dituntut oleh norma-norma implisit dan eksplisit, serta keasyikan diri dalam bekerja" (Ng et al., 2007; Porter, 1996; Robinson, 1998; Scott et al., 1997; Spence & Robbins, 1992 dalam Andreassen, Hetland, & Pallesen, 2014).

Perlu digaris bawahi bahwa konsep workaholic tidak dapat digeneralisasikan kepada semua kalangan. Individu yang menunjukkan perilaku workaholic biasanya adalah orang yang menyukai tantangan dan kerja kreatif.

Workaholic berbeda dengan hard worker (pekerja keras). Pekerja keras adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan orang-orang yang rajin bekerja untuk memenuhi kebutuhannya, namun mereka menyadari bahwa ada hal lain yang harus mereka lakukan selain bekerja. Pekerja yang digolongkan ‘hard worker’ adalah pekerja yang mengetahui pekerjaannya penting dan mereka berusaha secara optimal untuk memenuhi tanggung jawabnya, akan tetapi mereka masih mengetahui batasan dan tidak terlarut dalam pekerjaannya sehingga mereka dapat memiliki aktivitas lain di luar aktivitas kerjanya (Barbara Killinger, 1991).

Simak sebuah contoh di bawah ini:

Zhao Bian Xiang adalah seorang dokter spesialis pernafasan di rumah sakit distrik Yuci, kota Jin Zhong, China. Ia ditemukan pingsan saat sedang melakukan usaha penyelamatan pada pasiennya yang mengidap penyakit stroke. Penyebab Zhao ditemukan dalam keadaan pingsan adalah karena pecahnya pembuluh darah di kota. Dan setelah 20 jam Zhao pun dinyatakan meninggal dunia. Hal tersebut dapat terjadi karena Zhao terlalu sibuk dengan pekerjaannya hingga melupakan waktu istirahat. Bekerja tanpa mengenal waktu bahkan tanpa istirahat sering kita kenal dengan istilah workaholic.

Bagaimana cara mengatasi Workaholic?

Teruntuk individu yang sedang berjuang dengan workaholic, pertimbangkanlah untuk menambahkan hal-hal berikut ini, ke dalam Personal Health Plans atau Rencana Kesehatan Pribadi (PHP):

1. Membuat Rencana Konkret

Buatlah rencana konkret untuk memulihkan keseimbangan hidup. Ini merupakan hal yang penting. Misalnya saja, PHP harus menekankan pada berbagai aspek perawatan diri proaktif, termasuk di dalamnya menggerakkan tubuh dan aktivitas santai, serta waktu bersama orang-orang tersayang. Pendekatan Kesehatan Pelengkap dan Integratif disarankan. Yang termasuk di dalamnya mungkin teknik pikiran-tubuh, akupunktur, dan pendekatan lainnya.

2. Bawalah Kesadaran Penuh Perhatian (Mindful Awareness)

Mindful awareness memiliki potensi untuk memberikan dampak positif. Prioritas terpenting adalah untuk mengeksplorasi, mengapa seseorang bekerja terlalu keras. Apakah rasa takut terlibat? Adakah perasaan tidak aman atau insecure? Apakah ada panutan masa kecil mendorong perilaku ini? Dalam sebuah studi tahun 2017 terhadap 73 orang yang workaholic, ditawarkan kepada mereka delapan sesi mingguan pelatihan meditasi selama 2 jam. Gejala workaholic dari kelompok meditasi, kepuasan kerja, seberapa banyak mereka bekerja, tekanan psikologis, dan keterlibatan kerja telah meningkat dibandingkan dengan kontrol daftar tunggu.

3. Rencanakan Waktu Rekreasi

Merencanakan waktu rekreasi secara formal mungkin dapat membantu untuk mendapatkan bimbingan dari Seluruh Pelatih atau fasilitator lainnya.

4. Mendidik Orang Tentang Norma Teman Sebaya

Seorang yang workaholic mungkin tidak menyadari mengenai betapa berbedanya pola mereka dari orang lain. Berapa jam orang di kantor setelah bekerja? Tentu saja, membuat perbandingan semacam itu hanya membantu jika rekan kerja tidak terlibat dalam pola kerja disfungsional yang sama.

5. Meminta Pendapat Anggota Keluarga dan Teman Dekat

Dorong mereka untuk meminta pendapat anggota keluarga dan teman dekatnya. Ini penting, karena banyak workaholic yang tidak menyadari bagaimana perilaku mereka dianggap oleh orang lain.

6. Terapi Perilaku Kognitif

Libatkan mereka dalam terapi perilaku kognitif. Terapi perilaku kognitif dapat membantu mengurangi kecenderungan kompulsif dan "keras", serta meningkatkan kapasitas seseorang untuk menikmati aktivitas di luar pekerjaan.

7. Meningkatkan Keterampilan Interpersonal

Meningkatkan keterampilan interpersonal di tempat kerja. Ini termasuk belajar untuk mendelegasikan pekerjaan, maupun bekerja secara efektif dengan bawahan. Manajemen mikro dan ketidakpercayaan terhadap rekan kerja menyebabkan disfungsi yang lebih besar.

8. Fokus pada Kualitas Bukan Kuantitas

Fokuslah lebih pada kualitas pekerjaan, bukan kuantitas pekerjaan. Menjelajahi bagaimana menjadi lebih efisien di tempat kerja dapat membantu beberapa pecandu kerja. Mengembangkan kepercayaan melalui pengalaman langsung bahwa pekerja benar-benar dapat menjadi lebih efisien jika mereka menghormati kebutuhan mereka akan waktu relaksasi, waktu bersama keluarga, dan perawatan diri secara umum. Sebuah studi menemukan bahwa eksekutif yang bekerja rata-rata 52 jam seminggu lebih efektif daripada mereka yang bekerja lebih dari 70 jam seminggu.

9. Buat Batasan

Buatlah batasan yang jelas saat jauh dari pekerjaan. Matikan handphone, jelaskan kapan email akan atau tidak akan dijawab, dan jangan bawa komputer (atau perangkat lain, atau dokumen) saat liburan.

10. Bersabar

Poin terakhir yang tidak kalah penting dari poin-poin sebelumnya adalah Bersabar. Penyembuhan dari workaholic membutuhkan kesabaran dan waktu.

 

***

Tim Penulis: Muhammad Fakhri Habibie, Siti Nabila Suryaningsih,Triayuni Cynthiana Rahayu, Wardah Widad Hibatullah, Amanah Rizkia , Nada Aisyah Hanum Muchsin, Ade Afnan Nirmalawati

 

==

Sumber:

- Killinger, B. (2006). The workaholic breakdown syndrome. Research companion to working time and work addiction, 61-88

- Mudrack, P. E. (2004). Job involvement, obsessive‐compulsive personality traits, and workaholic behavioral tendencies. Journal of Organizational Change Management, 17(5), 490-508.

- Putri, C. A., & Soerjoatmodjo, G. W. L. Ketika Bekerja Jadi Candu: Perilaku Workaholic.

- Shimazu, A., & Schaufeli, W. B. (2009). Is workaholism good or bad for employee well-being? The distinctiveness of workaholism and work engagement among Japanese employees. Industrial health, 47(5), 495-502. Workaholic, W. B. P. P., Evita, I., & Jatmika, D. Well-being pada Workaholic

 

Artikel terbaru

2025-09-08 14:51:49 WIB

2025-09-08 14:40:21 WIB

Artikel Lainnya

Merujuk pada banyak contoh, istilah flexing dapat diartikan sebagai perilaku seseorang yang sering sekali memamerkan entah itu kekayaan, kemewahan, dan keberhasilan diri mereka di depan orang lain melalui sosial media yang mereka miliki.

Pernahkah Anda merasa sakit perut, lalu periksa ke dokter, namun menurut dokter tidak ditemukan masalah fisik yang mengganggu Anda?