Sumber Gambar : Ilustrasi (keluargaindonesia.id)

Kestabilan Emosi Keluarga Berperan Cegah Stunting

Psikolog senior dan Theme Lead on Cognition Action Against Stunting Hub (AASH), Risatianti Kolopaking, menyebut kestabilan emosi dalam keluarga amat berperan untuk mencegah anak terkena stunting.

“Kondisi emosi orangtua yang stabil, utamanya pada pengasuhan 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) mulai dari kehamilan, melahirkan, menyusui, hingga pemberian Makanan Pendamping ASI (MPASI) sangat krusial.  Jika tidak terpenuhi dapat berisiko menyebabkan stunting,” kata Risa di Jakarta, dikutip dari ANTARAnews, Jumat (30/6/2023).

Risa menuturkan, sebenarnya makna dari stabilitas emosi di keluarga sebagai sebuah ekspresi emosi yang dimiliki setiap orang, dikatakan stabil jika reaksi wajar sesuai dengan kondisi yang dihadapi sehingga mampu mengekpresikan emosi dengan tepat dan terkontrol.

Di dalam keluarga, kestabilan emosi erat kaitannya dengan dukungan di keluarga, baik antara suami dan istri,  ataupun hubungan dengan keluarga lainnya.

“Hubungan harmonis antara ibu dan ayah, serta peran orang (lain) yang signifikan di keluarga sangat berpotensi berpengaruh, seperti ibu mertua, paman, tante, dan lainnya,”ucap Risa.

Praktisi pendidikan yang juga Theme Lead on Education & Share Values AASH, Rita Anggorowati, turut menambahkan, kestabilan emosi erat hubungannya dengan pendewasaan usia perkawinan, perencanaan, dan persiapan calon pengantin untuk pencegahan stunting.

Keterbukaan komunikasi di keluarga harus dijadikan sebagai hal yang lumrah, seperti penerimaan, mengakui kesalahan, dan kejujuran, sehingga masalah dapat dikelola dengan baik dan saling dukung apapun kondisinya. Hal ini mampu menjaga pola asuh yang diberikan kepada anak tetap berjalan baik.

Contohnya, ketika melakukan penelitian ke sekolah-sekolah ditemukan sebuah fenomena unik di mana anak dengan bapak yang turut aktif mengambil banyak peran dalam pengasuhan cenderung lebih percaya diri dan mengonsumsi makanan yang relatif lebih sehat.

“Ini adalah hal yang penting. Lingkungan pendidikan dalam memenuhi kekosongan stimulasi psikososial di keluarga utamanya pada anak yang kurang beruntung dengan kondisi keluarga yang tidak ideal,” ucapnya.

Sebelumnya, Direktur Bina Keluarga Balita dan Anak BKKBN, Irma Ardiana, mengatakan pemerintah sudah mulai melakukan survei lima tahun sekali untuk memantau kondisi emosi keluarga di Indonesia sejak tahun 2021 melalui Indeks Pembangunan Keluarga (i-Bangga).

i-Bangga bisa melihat faktor apa yang menyebabkan potensi stres dalam keluarga meningkat. Misalnya seperti efek pasca pandemi baik dari sisi ekonomi, pendidikan, pekerjaan, termasuk pengasuhan.

Irma mengatakan pada Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022 menunjukkan bahwa prevalensi stunting masih sebesar 21,6 persen. Dengan demikian ia berharap makin banyak penelitian di Indonesia mengenai sunting dan intervensinya.

“Pada momen Hari Keluarga Nasional 29 Juni 2023, saya mengajak masyarakat untuk menguatkan kesadaran betapa besarnya peran keluarga dari segala sisi dalam mencegah adanya anak yang stunting,” katanya.

Artikel Lainnya

Tidur menjadi salah satu pelepas rasa lelah. Saat tidur, aktivitas otak secara keseluruhan melambat tetapi ada semburan energi yang cepat.

Ketika seseorang sudah memasuki fase lanjut usia (lansia), secara alami fungsi-fungsi tubuh akan mengalami penurunan, termasuk pula dalam hal daya ingat, atau yang sering disebut dengan istilah demensia.